Pages

Senin, 28 November 2016

konsep Sectio Caesaria

A. Definisi

Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pada masa sekarang sectio caesarea jauh lebih aman dari pada dulu dengan adanya antibiotika, tranfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik, karena itu terjadi kecenderungan untuk melakukan sectio caesarea tanpa dasar yang cukup kuat, dalam hubungan ini perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan sectio caesarea pasti akan mendapat parut uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat berhubungan dengan bahayanya ruptur uteri (Wiknjosastro, 2005).

Pembedahan yang paling banyak dilakukan ialah sectio caesarea transperntonealis profunda dengan insisi di segmen di bawah uterus, keuntungannya adalah perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak, bahaya peritonitis tidak besar dan parut pada uterus yang umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna (Wiknjosastro, 2005).

Sectio cesarea adalah suatu cara yang dilakukan untuk melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, dengan kata lain sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim (Mochtar, 1998).

 Kesimpulannya sectio caesarea adalah proses kelahiran atau proses melahirkan dengan melakukan sayatan pada dinding perut dan uterus dimana pada ibu yang mengalami pembedarahan sectio caesarea akan mendapatkan parut uterus dan pada kehamilan selanjutnya membutuhkan pengawasan yang cermat.

B.     Klasifikasi
  1. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
a.       Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b.      Bahaya peritonitis tidak besar.
c.       Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2.      Sectio cacaria klasik atau section cecaria korporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada segmen atas uterus.
3.      Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4.      Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
§  Atonia uteri
§  Plasenta accrete
§  Myoma uteri
§  Infeksi intra uteri berat
C.    Indikasi
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1.      CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2.      PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3.      KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
4.      Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5.      Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6.      Kelainan Letak Janin
a.       Kelainan pada letak kepala
1)      Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2)      Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3)      Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b.      Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).  
D.     TEKHNIK PENATALAKSANAAN
1.       Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
a.       Buatlah insisi  membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus uteri diatas  segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
b.      Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
c.       Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong diantara kedua klem tersebut.
d.      Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika kedalam miometrium dan intravena.
e.       Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
§  Lapisan I        
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
§  Lapisan II       
lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert) dengan benang yang sama.
§  Lapisan III     
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
f.       Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan air ketuban
g.      Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2.      Bedah Caesar Transperitoneal Profunda
a.      Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang, kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
b.     Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih 1 cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan gunting sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari operator.
c.      Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
d.     Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
e.      Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong diantara kedua klem tersebut.
f.      Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika kedalam miometrium dan intravena.
g.     Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
§  Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
§  Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert) dengan benang yang sama.
§  Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit  secara jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
h.      Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan air ketuban
i.        Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
3.      Bedah Caesar Ekstraperitoneal
a.       Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
b.      Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar transperitoneal profunda demikian juga cara menutupnya.
4.      Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)
a.       Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian juga cara melahirkan janinnya.
b.      Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan klem secukupnya.
c.       Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
d.      Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada tepi segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem tersebut.
e.       Uterus  kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada tunggul serviks uteri diatasi.
f.       Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera no. 2.
g.      Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut ( no.1 atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
h.      Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks uteri.
i.        Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera abdominis.
j.        Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
E.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2.      Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3.      Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4.      Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5.      Uji laboratorium
a.       Fungsi lumbal                    : menganalisis cairan serebrovaskuler
b.      Hitung darah lengkap       : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c.       Panel elektrolit
d.      Skrining toksik dari serum dan urin
e.       AGD
f.       Kadar kalsium darah
g.      Kadar natrium darah
h.      Kadar magnesium darah

F.    KOMPLIKASI

Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1.      Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi menjadi:
a.       Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b.      Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit kembung
c.       Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
3.      Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
4.      Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru yang sangat jarang terjadi.
5.      Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal
G.    PENATALAKSANAAN
            1.      Perawatan awal
  • Letakan pasien dalam posisi pemulihan
  • Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit sampai sadar
  • Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
  • Transfusi jika diperlukan
  • Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2.      Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3.      Mobilisasi
  • Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
  • Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
  • Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar
  • Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
  • Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler)
  • Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.

        4. Fungsi gastrointestinal

  • Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
  • Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
  • Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
  • Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik

        5.      Perawatan fungsi kandung kemih

  • Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam
  • Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
  • Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
  • Jika sudah tidak memakai antibiotika  berikan nirofurantoin 100 mg per oral per hari sampai kateter dilepas
  • Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.

        6.      Pembalutan dan perawatan luka

  • Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak jangan mengganti pembalut
  • Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk mengencangkan
  • Ganti pembalut dengan cara steril
  • Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
  • Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC
           7.      Jika masih terdapat perdarahan
  • Lakukan masase uterus
  • Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
         8.      Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam   selama    48 jam :
  •   Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
  • Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
  • Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
           9.      Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
  • Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
  • Supositoria            = ketopropen sup 2x/ 24 jam
  • Oral                       = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
  • Injeksi                   = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
10.  Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
           11.  Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
  • Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
  • Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
  • Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
  • Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
  • Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
  • Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
  • Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan tekanan intra abdomen
  • pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma.  Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak.  Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
  • Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
  • Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan
  • Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. 2001. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, Jakarta : EGC
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Muchtar. 2005. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC
Caraspot. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : mocaMedia
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Saifuddin, AB. 2002. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo
Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
T.Heather Herdman, PhD, RN. 2012. Nanda InternasionalDiagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.
http://yogasrondeng.blogspot.co.id/2013/09/askep-post-sectio-caesarea-sc.html